Mandiri Energi dengan Kincir Air

Kepala Desa Gumelem Kulon Kecamatan Susukan, Dato, kelahiran tahun 1963. Ia lahir di Dusun Dares Desa Gumelem Kulon. Sewaktu kecil, rumahnya menggunakan kincir air. Kini ia menggunakan listrik PLN, meski harus nyalur atau nyantel kabel listrik ke tetangganya yang berjarak 4 kilometer.

Ia mengatakan, saat ini dusun di desanya yang masih menggunakan kincir air tinggal Dusun Gunung Duwur dan Wanarata. Dua tahun lalu, di dua dusun tersbeut masih ada sekitar 150 kincir. Namun sejak masuknya listrik PLN, kini kincir air tinggal 30 buah. Satu kincir untuk satu keluarga.

Sebenarnya, kata dia, menggunakan kincir air lebih hemat dan praktis dibandingkan dengan listrik PLN. Hanya saja, satu-satunya kesulitan menggunakan kincir air yakni sulitnya mencari suku cadang berupa dinamo kincir. Kincir milik penduduk hanya bisa menggunakan dinamo dari sepeda motor tahun 1975 ke atas. “Dinamo ini banyak digunakan pada sepeda motor jenis CB yang saat ini sudah jarang ditemukan,” katanya.

Penduduk, kata dia, membuat kincir sendiri. Bahannya dari drum bekas yang dijadikan turbin. Selain itu, untuk wadah turbin mereka menggunakan kayu. Selama ini, untuk mencari magnet dan dinamo, mereka harus mencari di luar kota bahkan hingga Tasikmalaya Jawa Barat.

Saat kemarau, kata dia, debet sungai menyusut. Akibatnya, listrik meredup di rumah-rumah.

Desa Gumelem Kulon Kecamatan Susukan Banjarnegara mempunyai luas 812 hektare. Desa tersebut ditinggali oleh 10.128 jiwa. Kondisi geografis Gumelem kulon terdiri dari perbukitan. Hampir setiap musim hujan terjadi tanah longsor.

Dusun yang paling tinggi yakni Gunung Duwur. Ketinggian dusun tersbeut mencapai 716 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai dusun tersebut bisa menggunakan sepeda motor yang sudah dimodifikasi bagian gear dan rantainya.

Lebar jalan hanya satu meter. Jalan dibangun dengan menggunakan batuan kali yang ditata ala kadarnya. Tidak ada pagar pengaman di sisi jalan sehingga kalau tidak berhati-hati bisa terjun bebas ke jurang. Bagi orang yang baru pertama kali ke daerah itu, harus dipandu warga sekitar dengan menggunakan sepeda motor mereka. Sebab jika tidak, sepeda motor bisa berjalan mundur karena tak kuat melewati tanjakan yang begitu curam.

Di Gunung Duwur sendiri masih ada sekitar 30 rumah yang menggunakan kincir air. Sisanya nyalur listrik ke dusun tetangga yang berada di bawahnya yakni dusun Wanarata. Butuh kabel sepanjang 4 kilometer untuk nyalur listrik tersebut.

Dato mengatakan, di Gumelem Kulon ada 2.500 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut, baru 1.500 kepala keluarga yang sudah menikmati listrik. Mereka yang belum menikmati listrik masih menggunakan minyak tanah yang di tempat itu dijual Rp 10 ribu per liter. Sisanya menggunakan petromaks.

Masih menurut Dato, meskipun menggunakan listrik PLN yang nyalur ke tetangga dusun, nyalanya tidak terlalu terang. Apalagi saat beban puncak. Nyala lampu pada pukul 18.00 hingga pukul 21.00 akan redup. Setelah itu nyala kembali terang.

Satu sambungan listrik, biasanya digunakan hingga 11 rumah yang nyalur. Tiap bulan, rata-rata setiap rumah membayar iuran Rp 50 ribu. “Kalau pakai kincir justru tidak bayar, paling hanya mengganti karet turbin yang rusak,” katanya.

Ia menambahkan, ada beberapa kelemahan menggunakan kincir air. Diantaranya tegangan tidak stabil. Apalagi kalau salah satu bagian kincir rusak seperti laher. Jika arus tak stabil, televisi yang baru dibeli bisa meledak. “Pernah ada warga saya yang baru beli televisi langsung rusak,” imbuhnya.

Dato menambahkan, sebelum ada kincir warganya menggunakan lampu minyak tanah. Satu liter minyak tanah untuk tiga malam. Namun sejak subsidi minyak tanah dicabut, banyak warga yang beralih ke kincir air. Jumlah kincir semakin menurun sejak ada listrik. Selain itu, banjir besar yang melanda beberapa sungai di desa itu sempat menghanyutkan banyak kincir air.

Untuk membuat satu kincir air, kata Dato, hanya dibutuhkan Rp 2 juta. Kalau dirawat dengan benar, paling hanya satu tahun bagian kincir yang diganti seperti karet, laher, ataupun dinamo. Untuk satu kincir, kata dia, bisa digunakan untuk empat lampu dan satu televisi. “Kalau dihitung-hitung, memang lebih hemat menggunakan kincir. Tapi kelemahannya pada arus yang tidak stabil,” imbuhnya.

Ia juga menyebutkan, banyak warganya yang meninggal gara-gara kabel listrik yang lecet. Kabel sepanjang 4 kilometer tersebut, kadang kurang diperhatikan sehingga menimbulkan arus pendek dan berbahaya bagi penduduk.

Selama ini warga memanfaatkan sungai Gumelem yang mempunyai lebar enam meter.

Keinginan warga untuk segera menikmati listrik sebenarnya cukup kuat. Saat ini mereka mempunyai tabungan bersama di BRI untuk membeli tiang listrik. Tiga bulan ini, iuran warga sudah terkumpul Rp 50 juta. Mereka mengumpulkan uang setiap malam jumat kliwon di RT masing-masing. Dalam satu tahun, mereka menargetkan Rp 500 juta demi membeli tiang listrik dan sarana pendukungnya. “Bahkan untuk membawa tiang listrik ke atas gunung, sebanyak 60 warga menggotong sendiri tiang tersebut,” kata Dato.

Wirya Sukadi, lahir Februari 1938. Tamatan Sekolah Rakyat tahun 1947-1951. Ia kini tinggal di Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Banjarnegara. Kini ia sudah menggunakan listrik PLN sejak Desember tahun lalu. Alasannya,”Nda enak sama tetangga, dikira pelit tidak mau bayar tagihan listrik,” katanya, Sabtu (25/6).

Wirya mulai berkenalan dengan listrik sekitar tahun 1984. Ia mulanya menggunakan listrik tenaga surya. Panel surya ia peroleh dari hadiah pemerintah saat mengikuti pelatihan pertanian di Wonosobo.

Panel surya miliknya itu mampu menghasilkan 150 watt. Ia sendiri menggunakan lima lampu dengan masing-masing daya sebesar 10 watt. Sisanya ia gunakan untuk membuka jasa setrum accu tetangganya. Atau ia bisa menyalakan televisi hitam putih miliknya yang biasa ditonton bersama warga lainnya.

Panel surya tersebut dihubungkan dengan accu miliknya. Panel menangkap energy surya mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00 sore. Jika sinar matahari cerah, accu akan penuh terisi energi. Accu yang penuh tersbeut, bisa dipakai selama tiga malam berturut-turut.

Asalkan, kata dia, accu dalam kondisi prima dan rajin dirawat. Namun jika accu sudah soak, pengisian selama sehari hanya mampu digunakan untuk satu hari saja. Ia pun biasanya mengganti accunya dengan yang baru selama enam bulan sekali.

Ia sendiri menggunakan listrik dari panel surya selama delapan tahun. Satu accu ia biasa membelinya seharga Rp 150 ribu.

Saat menggunakan panel surya, Wirya sudah mulai mencoba membuat kincir air. Ia baru benar-benar menggunakan kincir air tahun 1991.

Idenya muncul dari dinamo generator listrik. Generator tersebut menghasilkan listrik karena adanya perputaran dinamo dengan menggunakan bahan bakar solar.

Setelah mendapat ide tersebut, ia lalu menggambar sendiri desain kincir air yang akan dibuatnya. Meski hanya lulusan SR, ia mampu membuat detil gambar kincir air secara sempurna.

Dari desainnya tersebut, ia mulai mengerjakan kincir air. Mula-mula ia membeli dua buah magnet di Tasikmalaya seharga Rp 40 ribu.

Setelah itu, ia pergi ke tukang las untuk merekatkan magnet dengan besi yang akan ditambahi dengan lilitan. Ia sendiri yang membuat lilitan dinamo dengan kabel ukuran lima millimeter.

Satu kilogram kawat lilitan dibelinya Rp 70 ribu. Untuk membuat lilitan yang cukup rumit itu, ia mengulur kawat tersebut sambil kemudian melilitnya ke dalam magnet. “Awalnya lama buat lilitan karena harus teliti, tapi setelah itu saya bisa membuat lilitan hanya dalam waktu tiga jam,” katanya.

Selain lilitan, ia juga membuat rumah-rumahan untuk tempat lilitan magnet. Bahannya cukup dari kayu. Selain itu, ia juga membuat baling-baling penangkap air yang dibuatnya dari drum bekas.

Ada dua baling-baling dalam kincir buatan Wirya. Baling-baling pertama yang dibuat dari drum bekas berfungsi untuk menangkap air sehingga turbin berputar. Baling-baling kedua menggunakan velg bekas sepeda onthel yang dihubungkan dengan baling pertama menggunakan karet ban bekas.

Dari baling kedua inilah dikaitkan lagi dengan lilitan dinamo sehingga menghasilkan listrik. Untuk mengalirkan listrik dari dinamo ke rumah, dihubungkan dengan kabel ukuran kecil sepanjang 300 meter, atau tergantung jauh dekatnya kincir dengan rumah.

Wirya mengaku, untuk membuat kincir, ia melakukannya sendiri tanpa ada bantuan dari orang lain. Awalnya banyak tetangga yang mencibirnya. Namun setelah kincirnya menghasilkan listrik, rumahnya selalu ramai dikunjungi orang. Bahkan pesanan untuk membuat kincir pun berdatangan.

Tetangganya banyak yang memesan kincirnya itu. Untuk seperangkat kincir hingga menyala, ia menjualnya Rp 1,5 juta. Padahal untuk membuat satu paket kincir hingga menyala, ia hanya membutuhkan Rp 275 ribu.

Satu kincir bisa menyalakan lima buah lampu. Daya yang dihasilkan bisa mencapai 450 watt tergantung besar kecilnya kumparan.

Saat menggunakan kincir, lampu dirumahnya dibiarkan menyala sepanjang hari. Selain itu, ia juga menyediakan jasa penyetruman accu milik tetangganya yang biasanya mampu menyetrum hingga 60 accu setiap harinya. Tarifnya Rp 10 ribu per accu.

Daya sebesar itu tak cukup untuk menyalakan televisi sekaligus. Biasanya ia mematikan sebagian lampu agar bisa menonton televisi. Ia juga membeli stabilser tegangan untuk menyalakan televisi. “Kalau tidak pakai stabilizer, gambar televisi akan bergelombang,” katanya.

Ia sendiri saat ini sudah menggunakan listrik PLN. Ia mengaku lebih suka menggunakan kincir buatannya ketimbang menggunakan listrik PLN. Setengah hati ia menerima pemasangan listrik PLN itu. Sebabnya sederhana saja, jika tak ikut nyambung listrik PLN, dikiranya ia tak pro pemerintah karena tak membayar tagihan listrik.

Dalam sebulan, ia biasa membayar iuran listrik Rp 13 ribu. Biaya itu, menurutnya jauh lebih mahal jika menggunakan listrik kincir karena hanya butuh perawatan dan penggantian alat saja.

Sukarji, 45 tahun, warga Desa Gumelem Kulon. Saat ini ia masih menggunakan kincir air meskipun listrik PLN sudah masuk ke desanya. “Saya tidak punya uang untuk memasang jaringan listrik yang dikenai biaya Rp 2 juta,” katanya.

Ia sendiri yang berprofesi sebagai pencari pasir di sungai Gumelem, mengaku lebih suka menggunakan listrik kincir dibandingkan listrik PLN. Daya listrik yang dihasilkan kincirnya mencapai 225 watt karena kumparannya kecil. Selama air masih mengalir, ia akan menggunakan kincir air.

Paryati, 50 tahun, kini beralih ke listrik PLN. “Dinamo kincir saya hilang dicuri orang,” katanya.

Kincirnya sendiri saat ini mangkrak tak digunakan lagi. Hanya tersisa baling-baling dari drum yang masih terpasang. Ia sendiri mengaku akan beralih ke listrik kincir jika sudah mempunyai uang untuk membeli dinamo. Ia kini hanya bisa menggali pasir di lokasi kincirnya yang sudah tak berfungsi itu.

ARIS ANDRIANTO

X CLOSE
Advertisements
X CLOSE
Advertisements

Tinggalkan komentar